TEMAN TERBAIK SEORANG JURNALIS

TEMAN TERBAIK SEORANG JURNALIS

Dalam sebuah berita harus dapat terjawab 5W + 1H, yaitu :
  1. What : apa yang terjadi
  2. Where : dimana terjadi
  3. When : kapan terjadi
  4. Who : siapa saja yang terlibat
  5. How : bagaimana kejadiannya
  6. Why : mengapa hal tersebut terjadi
Keenam elemen diatas merupakan dasar yang harus ada dalam sebuah berita, namun bisa juga ditambahkan dengan :
  1. Apa latar belakang peristiwa tersebut
  2. Apa arti kejadian tersebut
  3. Bagaimana pengaruhnya dan bagaiman selanjutnya(what next)

KIAT MEMBUAT STUDIO PENYIARAN

Bagian terpenting studio adalah bilik penyiar, tempat dimana alat-alat produksi diletakkan, misalnya : personal computer (PC), tape recorder, pemutar cd/dvd, tape dek, audio mixer, amplifier, mikrofon, speaker dan lain-lain.

FORMAT BERITA RADIO


Format berita radio dapat dibagikan menjadi enam bagian, yaitu :
  1. Straight news
Berita lempang (lurus/langsung) dimana didalamnya tidak terdapat sisipan apapun, hanya berupa kata-kata dengan informasi yang lurus/langsung dengan rumus 5W + 1H

  1. Actuallity insert (sound bite)
Format berita dengan menyisipkan statement dari narasumber ataupun suara atmosfir suatu kejadian yang fungsinya untuk memberikan keterangan yang lebih kredibel dari sebuah berita. Statement ataupun atmosfir tersebut bisa disampaikan secara langsung maupun direkam. Durasinya berkisar 20-30 detik, jangan sampai lebih kecuali untuk alasan tertentu

  1. Voice report
Laporan reporter mengenai suatu peristiwa yang disampaikan langsung dari lokasi kejadian atau berupa rekaman oleh reporter sebagai bagian dari bulletin berita. Dalam voice report ini juga dapat diberikan sisipan actually insert

  1. Interview
Wawancara dengan nara sumber baik itu dilakukan diluir maupun dari Studio yang bentuknya bisa secara langsung maupun rekaman

  1. Flash news
Berita yang disiarkan sewaktu waktu tetapi sifatnya hanya sekilas karena terikat dengan waktu maksimal berdurasi 1 menit 30 detik

  1. Breaking news
Berita yang sifatnya up to date atau memiliki nilai aktualitas yang tinggi yang biasanya disiarkan pada waktu-waktu yang sudah ditentukan tetapi jika sifatnya mendesak bisa disiarkan kapan saja dengan durasi tidak terbatas

Jurnalisme Perasaan

Ibu itu terpaksa harus menjual salah satu anak kembarnya yang baru dilahirkan karena ia tidak mampu membayar biaya persalinan. Di bawah sorotan kamera, sambil berlinangan air mata si ibu mengungkapkan rasa kecewanya. Sang reporter pun bertanya Kecewanya kenapa, bu?
Dalam peristiwa lainnya, seorang reporter radio melaporkan dari lokasi rubuhnya sebuah hotel akibat gempa di Padang: “Saudara, saya sedang bersama seorang bapak yang anaknya terperangkap di reruntuhan hotel ini. Pak, bagaimana perasaan bapak?

Brodkaster Radio Masa Depan

Untuk menjadi brodkaster lembaga penyiaran radio masa kini dan masa depan , tidak hanya piawai membuat program, namun lebih dari itu, yaitu harus  bisa juga menjual program-nya...Nah ini persoalannya, dari awal saja banyak diantara kita para radio broadkaster yang tidak  mau belajar gimana sih menjual radio yang sesungguhnya. Kenyataan yang ada hanya mau berkreatif mengelola program dan diasumsikan kalau program sudah baik akan berdampak pada pengiklan datang sendiri. Faktanya tidak demikian, banyak program bagus yang tidak laku dijual dan tidak diminati pemasang iklan. Nah ini persoalan kita semua sebagai praktisi radio, benarkah programnya tidak bagus atau memang kita tidak bisa menjualnya ?. Bagaimana perusahaan radio bisa menjadi sehat, program bagus dan rating bagus saja tidak laku dijual.

Kesukesan radio bagi kita dan pemilik radio adalah bagaimana hasil penjualan produk-produk radio bisa menjadi pundi-pundi keuntungan. Jadi kita sebagai broadkaster radio sudah saatnya belajar bagaimana  memoles diri sendiri untuk  bermafaat bagi radionya, yaitu menjual ide kreatif ( produk radio-programming) hingga bisa menjualnya dan menghasilkan keuntungan bagi perusahaan. Nah sepertinya kompetensi sejati broadkaster saat ini akan mengarah kepada SDM yang memiliki naluri berkreasi (Program) dan bisa menjual (Sales). 

Kalau kita sudah bisa memiliki dua hal tersebut, maka pekerjaan untuk berprofesi di radio tidak usah dikhawatirkan, kita akan diminati dan dicari oleh para pemilik radio, nilai jual kita akan bertambah karena memiliki kompetensi tersebut. Oleh karena itu nilai jual kita sebagai broadkaster radio bukan karena lamanya bekerja di industri radio atau hanya punya darah "R" saja, tapi lebih dari itu yaitu kita mau belajar untuk mengoptimalkan kemampuan kita agar benar-benar mampu (bukan pura-pura mampu karena merasa  lama hidup di radio) serta kita bisa membuktikan bahwa kita punya karya nyata dalam perjalanan karir di radio. 

Ingat bahwa output kesuksesan radio adalah karena advertiser (Pengiklan) banyak yang menggunakan media radio kita baik yang dicari maupun datang sendiri. Berburu iklan radio tidak hanya di jakarta namun  di daerah juga sebenarnya masih banyak harta karun periklanan yang belum digarap atau diolah oleh kita secara optimal (harta karun periklanan daerah yang belum diolah dan advertiser daerah belum diedukasi oleh kita tentang pentingnya beriklan di radio). Jangan salahkan radex (Radio Expenditure) kalau terus turun. Jangan salahkan Industri ! Karena kita tidak dapat iklan secara optimal. Dan jangan salahkan radio terus tumbuh karena Pemerintah atau KPID  memberikan rekomendasi kelayakan. Yang terpenting jangan salahkan pemilik radio, karena pemilik radio akan memberikan apa yang kita inginkan selama kita memiliki nilai jual yang tinggi.  Semoga.......!!!!      
Oleh Harley Prayudha (FDR 001)                                                     

Sense of Urgency

Saat harus kembali melakukan liputan di Jakarta, maka saat itulah saya kembali rajin memantau berbagai radio berita yang semua gelombangnya tersimpan dalam preset di radio handphone saya guna mendapatkan berbagai informasi teraktual di lapangan.

Luar biasa memang radio-radio berita itu menempatkan reporter mereka sehingga selalu berhasil mendapatkan informasi terbaru. Tapi sayang, dalam pendapat saya, banyak di antara para reporter radio itu yang belum memiliki sense of urgency saat menyampaikan laporan mereka di udara. Mahluk apakah gerangan sense of urgency itu?

Bayangkan seorang reporter memberitakan tentang suasana di Jalan Cendana saat wafatnya Pak Harto. Dengan nada yang datar ia bercerita tentang keramaian yang terjadi, perkembangan peristiwa dari jam ke jam sampai siapa saja tokoh yang datang lengkap dengan warna baju hingga ke nomor plat mobilnya. Secara teknis, ia sudah menyampaikan laporan dan pendengar sudah mendapatkan informasinya. Titik! Tapi tetap saja ada yang kurang, bak makan sup hangat yang bumbunya kurang pas. Kenyang memang, tapi kurang pas saja dan bagi saya yang kurang pas itu adalah sense of urgency.

Apa itu sense of urgency? Bagi saya itu adalah ketika setiap kata, setiap nada dan penekanan suara, setiap gambaran, setiap ekspresi suara semuanya membentuk kesan bahwa apa yang anda sampaikan itu penting dah harus didengar sehingga anda berusaha menyampaikannya dengan sedemikian meyakinkannya agar orang ikut ‘merasakan’ apa yang anda lihat dan alami, kalau perlu sampai ke bau-baunya sekalian hehe..
Ketika tengah menyimak laporan sejumlah radio saat jenazah Pak Harto dibawa ke Bandara Halim, saya sering sekali mendengar laporan yang kurang lebih seperti ini (Bayangkan suara seorang reporter yang datar-datar saja bahkan terkesan membaca):
“Ya pendengar, baru beberapa saat lalu iring-iringan kendaraan yang membawa jenazah Suharto melewati tempat saya berdiri. Di awali dengan iringan motor patroli pengawal membuka jalan, diikuti oleh mobil jeep berisi pengawal dari polisi militer dan di belakangnya sebuah ambulans bernomor mobil B sekian sekian sekian, lalu di belakangnya lagi adalah mobil sedan B sekian sekian sekian diikuti oleh beberapa bis dan seterusnya.. “
Bandingkan dengan satu laporan yang cukup menarik minat saya yang -mudah-mudahan ingatan saya masih baik- kalau tidak salah si reporter sedang mengikuti iring-iringan dan diminta memberi gambaran suasana saat itu dan saya coba reka kembali dan kurang lebih begini bunyinya..
“Saya berada di dalam bis nomor dua dan dari sini terlihat ratusan masyarakat biasa mulai dari orang kantoran sampai ibu-ibu rumah tanggal berjejalan di pinggir jalan, melambaikan tangan bahkan banyak juga yang mengacungkan handphone berkamera. Mereka berdesakan berusaha mendekat ke iring-iringan kami. Malah saking padatnya sampai terasa saat ini iring-iringan menjadi lebih lambat. Mungkin saja diperlambat untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengucapkan selamat jalan kepada Pak Harto dengan cara mereka masing-masing. Nampak juga beberapa orang melemparkan sesuatu ke arah iringan. Bunga! Rupanya mereka menaburkan bunga-bunga ke jalanan yang kami lewati ini. “
Tidak ada yang salah dengan laporan yang pertama, terutama kalau anda mau tahu plat nomor mobil iring-iringannya hehe.. Tapi terus terang saya suka dengan laporan kedua. Sayang saya tidak merekamnya, tapi yang jelas si reporter benar-benar tahu memainkan intonasi suara, tahu kapan harus memberi penekananan atau pengulangan pada kata-kata penting, ditambah kemampuan deskripsinya yang menarik. Namun ironinya adalah contoh tadi itu merupakan laporan di televisi. Untungnya si reporter dulu saya tahu adalah orang radio hehe
Sense of urgency bukan sekedar berpura-pura penting apalagi memberi bumbu-bumbu dalam laporan, atau memberikan penekanan pada nada suara agar terkesan penting. Sense of urgency bukan hanya ada pada berita-berita yang serius karena ketika melaporkan suasana konser musik atau konser lawak sekalipun, sense itu harus tetap ada. Sense of urgency melibatkan berbagai unsur dalam diri seorang reporter, mulai dari gaya bahasa, kemampuan deskripsi, sampai ke kreativitas.
Nah, sudahkah anda hai rekan-rekan reporter radio menerapkan Sense of Urgency dalam laporan-laporan anda?

Sense of Urgency
ditulis oleh  La Rane Hafied [FDR 143]

Kirim-Kiriman Lagu

Kirim-Kiriman Lagu
Kirim-Kiriman Lagu
ditulis oleh  La Rane Hafied [FDR 143]

Masih saja ada anggapan di beberapa kalangan dunia radio bahwa siaran request atau saya lebih suka menyebutnya acara ‘kirim-kiriman lagu’ merupakan ‘kasta terendah’ alias paling mudah dibawakan dalam jenjang acara radio. Bandingkan misalnya dengan acara talk show atau morning show dan lain sebagainya.

Tapi kenyataannya tidak selalu demikian.. Di bawah sadar banyak orang, acara kirim-kiriman ini bahkan kerap dianggap sebagai ciri khas radio. Saya yang kadang sering kelewat bangga menyebut diri jurnalis radio ini, misalnya, sering sekali justru menerima komentar seperti: “Jurnalis Radio? Wah, lu kerja di radio? Kirim-kirim lagu dong buat gue!”. :) Hahaha.. kena batunya..!

Tapi sayangnya, di sisi lain saya juga masih saja mendengar komentar seperti “Yah saya ini CUMA penyiar kirim-kiriman lagu aja, pak. Bukan professional kayak anda..”
Nah, buat mereka yang masih merasa acara ini CUMA kirim-kiriman lagu saja lah tulisan berikut ini saya persembahkan.

ACARA DENGAN JAMINAN PENDENGAR
Pertama dan paling utama: di saat acara lain harus berjuang untuk mendapatkan pendengar, acara kirim-kiriman lagu adalah yang termasuk paling cepat mendapatkan pendengar dan juga paling banyak pendengarnya. Pengalaman saya kerja di dua stasiun radio internasional selalu menunjukan bahwa walaupun acara talk show atau liputan khusus memang menarik, tapi tetap saja yang paling banyak disukai adalah acara yang sifatnya interaktif dalam memutarkan lagu dan pesan pendengar.
Mengapa bisa demikian? Saya menduga paling tidak ada 3 faktor;
1. Musik. Siapa sih yang tidak suka musik? Rasanya semua orang suka.
2. Musik pilihan. Biasanya musik yang diputar adalah musik-musik pilihan pendengar yang sedang atau pernah terkenal dan hampir bisa dipastikan disukai banyak orang.
3. Narsis. Manusia pada dasarnya punya sifat narsis, suka disebut namanya di udara ;)
ROBOT VS MANUSIA
Dengan bermodal tiga faktor yang saya sebut tadi saja, acara kita sudah menjadi jaminan tersendiri. Cukup bacakan permintaan lagu serta pesan-pesan si peminta lagu dan putar. Beres!! Apalagi di jaman serba canggih seperti sekarang, rasanya secara teknis siaran kirim-kiriman lagu ini menjadi mudah sekali. Tidak seperti jaman dulu yang membutuhkan keahlian tersendiri untuk mencari lagu, me-rewind, memasang tape dan lain sebagainya. Sekarang semuanya tinggal pencat-pencet sana sini dan ngomong. Beres!
Dari sudut pandang pendengar, mereka sudah senang diputarkan lagu dan pesannya. Tapi percayalah, ketika mereka kita berikan “bonus” berupa sikap ramah, uluran pertemanan yang tulus, dengan mudah kita bisa merebut hati mereka! Istilahnya, kalau harus memilih berteman dengan robot atau manusia, tentu kita pilih manusia, dong.. :)

INOVASI
Ketika kita sudah merebut hati pendengar, maka waktunya untuk menjaga supaya mereka (dan juga kita) tidak bosan. Caranya; Lakukan inovasi, buat hal-hal baru dalam siaran anda, buat sesuatu yang berbeda.

Bagaimanapun ketika semua radio punya acara kirim-kiriman, anda harus berusaha menciptakan sesuatu yang menonjol, yang berbeda, tapi selalu ingat untuk melakukannya dengan melihat dari sudut pandang pendengar.

Jangan mentang-mentang sudah merasa banyak pendengar, tiba kita, misalnya, tidak mau kalah dengan acara pagi dan sore, lalu ikut menghadirkan wawancara dengan pengamat politik tentang peristiwa terkini. Biar sajalah itu untuk porsi acara-acara talk show. Tapi kenapa tidak, misalnya anda hubungi orang-orang terkenal dan minta mereka untuk cerita tentang lagu kesukaan mereka.. BBC punya acara seperti ini dan laris manis sampai puluhan tahun.
Ada lagi sebuah radio yang justru mengirimkan penyiarnya siaran di jalanan, menemui pendengar di jalanan, mengajak mereka ngobrol di udara dan lain sebagainya. Ini juga sebuah cara yang menarik.
Cara serupa juga dilakukan oleh radio lain yang pas jam makan siang selalu rajin keluar menelusuri tempat-tempat makan terkenal dan dari situ mengudarakan permintaan-permintaan lagu dari para pembeli sekalian menginformasikan tempat-tempat makanan menarik.
Ada banyak cara untuk menciptakan inovasi dalam acara kirim-kiriman kita dan saya yakin orang radio pasti lebih tahu siapa pendengar masing-masing baik dari segi usia, ekonomi, pendidikan, kebiasaan dan lain sebagainya. Kembangkanlah kreatifitas kita dalam berinovasi dari situ, dari sudut pandang pendengar.
Yang lebih menarik adalah karena acara kirim-kiriman lagu ini sering menjadi semacam laboratorium untuk menggodok lahirnya acara-acara dan penyiar-penyair baru..

SHOW!!!
Ada satu lagi cara untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasi kita, yaitu dengan memperlakukan acara kirim-kiriman lagu itu sebagai sebuah “SHOW”. Lihatlah ia sebagai satu paket acara yang terdiri dari macam-macam hal, tapi dengan tetap berdasaran pada permintaan pendengar. Percayalah, kadang yang diperlukan oleh para penyiar ini adalah sudut pandang lain untuk melihat acara mereka yang tidak CUMA acara kirim-kiriman semata, tapi sebuah show!
Selamat siaran. Jangan lupa kirimin lagu buat saya ya hehehehehe

Mengenal Si Pengancam Radio

Mengenal Si Pengancam Radio

Sejak alat pemutar audio digital atau biasa disebut mp3 player makin populer, ada yang percaya bahwa radio tengah terancam. Siapa lagi perlu radio, katanya, kalau kita bisa membawa ribuan lagu dalam kotak kecil itu. Saya sih tidak terlalu percaya karena bagaimanapun radio masih punya banyak kegunaan selain memutar musik.Tetapi, kalaupun hanya ingin dilihat dari segi musik, maka menurut saya yang harus diakui orang radio sebagai ancaman adalah fungsi ‘shuffle’ yang terdapat di rata-rata alat pemutar audio digital.Penggemar musik mungkin akan tahu bahwa salah satu kenikmatan mendengarkan radio adalah unsur kejutannya ketika menunggu lagu apa yang akan diputar berikutnya oleh penyiar. Kalau lagunya pas, senang sekali rasanya. Tapi kalau lagunya tidak enak, bisa bete dibuatnya.

Nah, coba bayangkan bahwa lagu yang akan diputar berikutnya itu 99,9 persen dijamin cocok dengan selera anda. Asik, bukan? Cuma pemutar mp3 yang bisa begitu karena teorinya adalah lagu yang dimasukkan ke alat itu adalah lagu-lagu favorit pemiliknya. Ketika lagu-lagu itu di kocok alias di acak atau di shuffle, maka kita masih mendapatkan kejutan-kejutan kecil saat sebuah lagu muncul. Persis seperti mendengarkan acara musik di radio, kita masih di ajak menebak apa lagu berikutnya, tapi kemungkinan besar kita akan suka lagu itu.

feature photoFungsi shuffle inilah yang agaknya sangat menginspirasi kolumnis teknologi terkenal Steven Levy ketika menulis buku berjudul The Perfect Thing: How The iPod Shuffles Commerce, Culture and Coolness. Buku ini sebenarnya bercerita tentang alat pemutar mp3 produksi Apple, apalagi kalau bukan iPod. Akses penulisnya ke banyak orang-orang penting di Apple, termasuk si juragan Steve Jobs membuat buku ini menjadi referensi yang super lengkap tentang sejarah iPod.

ipod bukanlah alat pemutar audio digital pertama di dunia, bahkan ia kalah duluan dengan sebuah perusahaan Korea yang juga memproduksi alat serupa. Tapi filosofi di balik pembuatannya itu yang membuatnya menjadi salah satu tonggak sejarah teknologi dan juga bisnis di dunia, dan ini diulas dengan menarik oleh Encik Levy dalam bukunya. Kenapa iPod ukurannya kecil? Ada apa di balik warnanya? Mengapa iPod tidak ada tombol On nya? Bagaimana pula Apple bisa melobby berbagai label rekaman besar di Amerika untuk mau menjual lagu produksi mereka seharga 0,99 sen dolar per lagu di iTunes dan menjadikan iTunes salah satu bisnis musik online digital terbesar di dunia?

Tapi di balik semua itu, tidak ada yang lebih menarik minat Steven Levy daripada fungsi shuffle. Baginya itu adalah salah satu teknologi hebat yang tidak hanya mampu mengacak musik di iPodnya dan memberi kejutan setiap hari dengan lagu-lagu yang disukainya, tapi juga karena iPod sanggup mengacak sejarah musik, bisnis dan budaya di masyarakat. Karena itu pula lah ia bahkan men shuffle bab-bab dalam bukunya ini, sehingga setiap buku yang dijual memiliki susunan bab berbeda-beda kecuali bab pertama dan penutup, tanpa mengurangi kenikmatan membacanya.

Saya sepakat dengan Levy. Walaupun sampai sekarang saya belum punya iPod dan sejak tiga tahun terakhir ini masih menggunakan alat pemutar Mp3 butut merek Creative dengan kapasitas cuma 512Mb saja, tapi fungsi shuffle itulah yang membuat saya tidak bosan mendengarkannya karena justru kejutan-kejutan kecil yang dihadirkannya cukup berhasil mewarnai hari saya dan juga mungkin penggemar musik lainnya yang memiliki alat pemutar audio digital, persis seperti slogan yang digunakan Apple ketika pertama mengiklankan iPod Shuffle nya: Life is Random!

Sebuah buku yang walaupun memang berat terkesan terlalu memihak Apple, tapi ditulis dengan sangat menarik dan sarat dengan sejarah-sejarah menarik tentang salah satu temuan bersejarah dunia: bukan.. bukan cuma iPod tapi juga teknologi pemutar audio digital itu sendiri.

Cepat atau lambat, teknologi alat pemutar audio digital ini akan lebih memasyarakat di Indonesia dan juga merubah kehidupan masyarakat. Bahkan saat ini pun di sejumlah mall, misalnya, sudah ada yang berjualan lagu mp3 seharga sekitar 5-10 ribu per lagu yang bisa langsung dimasukkan ke handphone. Bayangkan berapa besar perubahan yang dibawanya. Dan ketika itulah kita orang radio harus tahu bagaimana memanfaatkan kehadirannya untuk memberi nilai tambah bagi radio kita, ketimbang melihatnya sebagai ancaman.

Tidak ada yang pernah berhasil mengancam keberadaan radio hingga kini. Yang ada hanyalah mereka yang sudah menyerah, sudah jiper duluan melihat kehadiran teknologi-teknologi baru hehe
Jadi benarkah radio terancam dengan kehadiran iPod (baca: mp3 player) ? Apa pendapat anda?:)

ditulis oleh  La Rane Hafied [FDR 143]

JENIS WAWANCARA RADIO

JENIS WAWANCARA RADIO

Pengalaman diwawancara oleh wartawan atau produser radio berbeda ‘rasanya’ dengan wawancara oleh media cetak atau bahkan televisi. Ada beberapa hal yang harus anda persiapkan agar apa yang anda sampaikan benar-benar maksimal dan anda akan nampak sebagai seorang nara sumber yang profesional. Mungkin beberapa tips ini bisa membantu.

JENIS WAWANCARA RADIO:
Wawancara radio biasanya dilakukan melalui cara-cara:
1. LIVE ATAU SIARAN LANGSUNG, baik dengan mengundang anda ke stasiun radio yang bersangkutan atau melalui telepon.
a. Wawancara Di Studio
Jika wawancara dilakukan di studio, pewawancara biasanya akan memberikan anda beberapa pengarahan tentang apa yang harus anda lakukan. Kalaupun tidak, ada beberapa hal yang harus anda perhatikan, seperti:
  • Mikrofon: Pastikan jarak antara mulut dengan mikrofon tidak terlalu dekat tapi tidak terlalu jauh. Jarak ideal antara mulut dengan mikrofon adalah satu kepalan tangan. Pastikan pula anda tidak banyak bergerak karena akan mempengaruhi kualitas suara anda di udara. Masalah ini bisa diatasi jika radio yang bersangkutan menggunakan mikrofon yang menyatu dengan headphone. Oya, satu hal lagi, jangan sekali-kali meniup atau mengetuk-ngetuk mikrofon. Ini bukan pidato di kelurahan hehehehe..
  • Headphone dan kontrol suara: Jangan anggap remeh fungsi headphone. Kegunaan headphone adalah untuk memonitor kualitas suara anda. Jangan segan-segan meminta pada operator atau penyiar untuk mengecilkan atau membesarkan suara di headphone sesuai dengan kenyamanan pendengaran anda.
  • Matikan ponsel anda. Sinyal ponsel bisa mengganggu perangkat elektronik di studio. Matikan. Jangan di silent!
b. Wawancara Melalui Telepon
Wawancara langsung melalui telepon berbeda dengan wawancara langsung di studio. Kualitas suara telepon jauh lebih rendah sehingga seringkali membuat anda harus bicara ekstra keras dengan pengucapan yang jelas. Itu yang terpenting. Hal lain yang juga harus diketahui:
  • Anda tidak akan langsung mengudara begitu di telepon. Idealnya anda akan di brief tentang apa yang harus dilakukan. Pada saat itu pastikan suara di ujung sana bisa anda dengar dengan jelas.
  • Dalam beberapa kasus, ada radio yang langsung menghubungi anda di udara. Bisa jadi karena anda adalah narasumber yang sulit dimintai wawancara sehingga mereka memutuskan ‘menembak’ anda langsung di udara. Jika ini terjadi, anda punya hak menolak. Sepenting apapun wawancara itu, pihak radio harus lebih dulu meminta persetujuan anda untuk bisa mengudarakan wawancara dengan anda. Jika anda sudah terlanjut di ‘tembak’, tips terbaik dari saya adalah diam. Jangan tutup telepon, apalagi membanting telepon.
  • Sebisa mungkin minta si pewawancara untuk menghubungi nomor rumah atau kantor dan jangan melalui handphone.
  • Jangan bicara terlalu dekat dengan spiker telepon. Sesuaikan jarak yang nyaman.
  • Seringkali anda tertarik mendengar suara anda langsung melalui di radio. Namun sebaiknya jangan. Pertama dia bisa menimbulkan suara feedback atau berdenging. Kedua seringkali ada keterlambatan atau delay di radio sehingga akan menganggu proses anda mendengarkan wawancara. Kalaupun anda tetap ingin mendengarkan melalui radio, pastikan volume nya tidak terlalu besar. Dalam beberapa kasus anda juga bisa membalik speaker radio agar tidak berhadapan laangsung dengan anda. Ini bisa mengurangi efek feedbback.
2. WAWANCARA PRE-RECORDED ATAU DIREKAM TERLEBIH DAHULU, untuk kemudian di edit sebelum diudarakan. Ini juga bisa dilakukan di studio radio yang bersangkutan atau si pewawancara yang datang kepada anda dan melakukan wawancara dengan alat rekam atau juga melalui telepon. Pada prinsipnya wawancara pre-recorded ini sama dengan wawancara lain. Hanya saja bedanya dia tidak dilakukan secara live. Karena itu perhatikan poin-poin sebelumnya.
Selain itu ada hal lain yang juga anda perlu perhatikan, terutama berkaitan dengan wawancara yang dilakukan dengan alat rekam. Setiap alat rekam yang digunakan oleh pewawancara memiliki karekteristik yang berbeda-beda. Ada yang masih menggunakan kaset recorder biasa, mini disc recorder atau bahkan IC recorder yang sudah canggih. Para wartawan radio itu pasti tahu seluk beluk alat rekam mereka. Namun tidak ada salahnya kalau anda memastikan untuk berbicara dengan jelas. Jangan segan-segan untuk bertanya pada pewawancara anda apakah suara anda sudah cukup jelas direkam.
Sekali lagi ingat bahwa tujuan utama anda sebagai nara sumber yang diwawancara adalah supaya apa yang anda sampaikan itu bisa muncul dengan jelas.

PERBEDAAN WAWANCARA DI RADIO DENGAN MEDIA LAIN.
Saya akan mencoba melihat perbedaannya denga melihat karakteristik radio.
1. Suara/Audio
Perbedaan paling utama tentu saja adalah adanya unsur suara atau audio. Sudah pasti dalam wawancara radio suara anda akan muncul. Dalam wawancara dengan media cetak, suara anda akan di rubah dalam bentuk tulisan sehingga masih memungkinkan adanya perbaikan dalam hal tata bahasa atau jika ada pendapat anda yang bisa disalah tafsirkan. Wartawan yang baik tentu akan menghubungi anda untuk konfirmasi ulang dan dengan mudah perubahan itu bisa dituliskannya. Tapi di radio ini berarti anda harus merekamkan kembali merekam ulang dan itu tentu perlu waktu.
Karena itulah kontrol suara sangat penting saat melakukan wawancara radio, tapi tujuannya bukan supaya suara anda jadi bagus sebagus suara Pak Sambas (alm), tapi lebih kepada agar apa yang anda sampaikan itu terdengar jelas, baik dari segi artikulasi, penyebutan maupun volume suara.
Jika suara yang terdengar terlalu besar, menjauhlah dari mikrofon dan sebaliknya. ‘Penyakit’ lain yang juga sering muncul berkaitan dengan suara ini adalah apa yang disebut sebagai bopping dan hissing. Bopping akan terjadi jika penyebutan huruf “b” atau “p” terlalu keras atau berlebihan sehingga menimbulkan suara aneh. Hissing muncul pada penyebutan huruf seperti “s” atau “x” yang berlebihan sehingga juga akan terdengar aneh dan menggangu kejelasan suara anda. Atasi dengan mengontrol jarak dengan mikrofon atau juga cara penyebutan huruf-huruf tadi.
2. Sekali lewat.
Radio adalah medium sekali dengar. Karena itu jangan bicara bertele-tele. Pastikan anda bicara to the point walaupun mungkin anda diberikan waktu wawancara yang panjang. Siapkan atau tuliskan poin-poin yang akan anda sampaikan. Asal tahu saja, kemampuan orang mendengarkan omongan di radio sangat terbatas. Bahkan konon kemampuan orang menangkap pesan yang didengar di radio hanya maksimal 5 menit setelah itu mereka akan hilang konsentrasi. Jangan pula mendominasi pembicaraan. Biarkan pewawancara yang memegang kendali.
3. Unsur Emosi
Selama ini mungkin banyak yang berfikir bahwa wawancara melalui radio relatif lebih mudah, apalagi karena wajah anda tidak nampak, seperti di televisi. Tapi percayalah, emosi anda, suasana hati anda, bahkan sering kepribadian anda akan lebih nampak dari suara.
Karena itulah dalam wawancara radio, penting bagi anda untuk menjadi diri sendiri. Ingat! Anda bukan penyiar. Jadi jangan terlalu memusingkan mutu suara anda. Jadilah diri sendiri. Anda diundang bukan karena suara anda yang berat dan bagus seperti Pak Sambas (alm) atau Olan Sitompul. Anda diundang karena pendapat yang anda sampaikan. Tetaplah santai seperti layaknya bercakap-cakap biasa, tapi tetap kontrol suara anda agar apa yang anda sampaikan itu jelas. Walau ini bukan televisi, tapi jika anda tidak santai, justru akan sangat terasakan oleh pendengar. Bahkan dalam beberapa kasus, suara anda bisa terdengar cempreng.
Demikian beberapa tips dari saya, semoga bermanfaat. Memang pada dasarnya anda tinggal bicara, karena semua sudah diatur oleh pewawancara. Tapi tidak ada salahnya kan jika anda tampak lebih professional sebagai seorang nara sumber.
ditulis oleh  La Rane Hafied [FDR 143]

Radio Perlu Belajar dari Filosofi Kerja Google

Radio Perlu Belajar dari Filosofi Kerja Google
Radio Perlu Belajar dari Filosofi Kerja Google


Seorang teman seprofesi pernah mengeluhkan kejenuhannya karena meski ia bekerja di sebuah radio besar dengan gaji lumayan, tapi ia merasa stagnan karena tidak bisa menyalurkan kreatifitasnya. Padahal pada saat yang sama, perusahaan tetap menuntut kerja maksimal demi pemasukan iklan yang juga lebih besar.
Dari sisi perusahaan, pembenaran yang kerap sering terdengar adalah bahwa kreatifitas itu sering tidak sejalan dengan pemasukan iklan, atau malah dianggap buang-buang air time saja. Jadi akhirnya banyak radio yang “bermain aman” saja, yang penting iklan tetap ada walau tidak lancar.
Lantas bagaimana mengatasi masalah ini?

Ada satu contoh menarik yang mungkin bisa dicoba di radio anda. Contoh ini berasal dari sebuah perusahaan mesin pencari terbesar di dunia, Google.
Setiap satu hari dalam seminggu, para programer yang bekerja di Google diperbolehkan untuk mengerjakan proyek di luar tugas rutin atau job description mereka. Ini adalah salah satu dari filosofi kerja di Google yang dikenal dengan “Google’s 20 Percent Time”.
Mengapa bisa begitu? Saya jadi ingat buku karya kartunis Hugh MacLeod mengenai bagaimana mengembangkan kreatifitas. Di buku itu ia memaparkan sejumlah poin tentang kreatifitas, dan poin pertama –yang sekaligus menjadi judul buku itu- adalah: “Ignore Everybody”, jangan perdulikan orang lain!
Menurutnya, ide-ide orisinil justru seringkali muncul pertama kali dari diri sendiri tanpa masukan dari pihak lain, baik teman maupun rekan kerja (apalagi pengiklan hehe). Namun justru ini tahapan paling sulit, karena kita si pemilik ide sering mendapat tentangan. Maklum, ide yang baik kadang sering membuat orang lain ‘terganggu’ karena sering merusak sistem kerja yang sudah ‘mapan’ di tempat kerja.
Karena itulah, tulis Hugh di bukunya, ide yang bagus dan orisinil sering kali ditolak pada awalnya. Dan tidak ada jalan lain selain: jangan pedulikan orang lain! Ignore everybody! Kerjakan sendiri.
Tapi apa itu mungkin dilakukan di sebuah perusahaan yang menuntut kerjasama seluruh karyawannya? Google bisa dan berhasil! Caranya? Ya itu tadi, para karyawannya diberikan waktu 20 persen dari total waktu kerja mengerjakan sesuatu berdasarkan kreatifitas mereka sendiri tanpa banyak pertimbangan ini itu dari pihak perusahaan. Hasilnya luar biasa! Banyak inovasi-inovasi baru yang muncul dan justru menguntungkan perusahaan besar itu seperti “Google Reader” atau sejumlah fungsi baru di Gmail.
Terus pelajaran apa yang bisa kita petik untuk orang radio yang selalu memerlukan kreatifitas? Ya berikanlah waktu bagi para penyiar, produser, reporter, bahkan sales dan marketing sekalipun untuk mengembangkan ide dan kreatifitas mereka. Jangan matikan ide itu dari awal. Matikan ide itu kalau nanti terbukti tidak berhasil, karena tidak semua hasil kreatifitas itu menarik bagi pendengar, apalagi menarik bagi pengiklan
Memang kalau mau dilihat dari sudut pandang manajemen, cara ini mungkin hanya membuang waktu kerja saja. Tapi ada jalan lain yaitu tiru cara google. Berikan sedikit ruang gerak kepada mereka untuk mewujudkan kreatifitas. Sedikit saja. Toh yang untung nanti perusahaan juga.

Contoh. Berapa lama jam siaran di radio anda? Katakanlah 12 jam. Kenapa tidak berikan slot 30 menit atau 10 menit sekalipun pada setiap penyiar atau produser untuk mengembangkan sesuatu ide sesuai kemauan mereka tanpa harus dibebani kewajiban menarik pengiklan. Wajibkan mereka untuk pitching ide itu dan lebih penting lagi untuk mewujudkannya di udara dan biarkan pendengar yang menilai. Kalau tidak menarik, baru matikan ide itu!
Hal yang sama berlaku untuk para reporter, misalnya. Di sela kewajiban mereka melakukan liputan rutin setiap hari, berikan pula mereka waktu untuk membuat inovasi baru dalam melakukan liputan. Wajibkan kalau perlu!

Sales dan marketing pun demikian. Di luar tugas rutin, berikan mereka waktu untuk memikirkan ide-ide teknik pemasaran baru. Jadikan itu bagian dari Standard Operational Procedure mereka kalau perlu.

Di kantor ada bagian IT? Kenapa tidak berikan mereka waktu untuk juga memikirkan inovasi baru di situs kantor, atau di sistem siaran sesuai kemauan mereka di luar tugas-tugas rutin kantor. Mungkin sehari dalam seminggu bebaskan mereka dari kerja rutin? Kenapa tidak?

Anda mungkin berkata: bukankah ini tugas R&D atau Litbang? Betul! Tapi berapa sih staf R&D anda? Jangan-jangan malah radio anda tidak punya R&D? Nah, bayangkan seluruh penyiar anda juga melakukan tugas R&D? Lebih banyak kepala, lebih banyak ide, bukan?
Salah satu kunci sukses Google adalah karena mereka memberi ruang bagi ide dan kreatifitas individual pekerjanya untuk tumbuh sehari dalam seminggu dan terbukti itu menguntungkan perusahaan. Kenapa tidak dicoba untuk radio anda?

Kenapa ini penting?

Karena menurut pendapat saya, musuh dalam selimut bagi radio adalah rutinitas.
Rutinitas berpotensi mematikan kreatifitas dan menjadikan penyiar-penyiar anda robot belaka yang hanya bisa cuap-cuap di sela lagu. Kalau sudah begitu, apa bedanya radio anda dengan MP3 Player?

Silahkan percaya dengan anggapan bahwa radio di jaman sekarang telah mati! Silahkan membandingkan dengan radio di masa lalu yang menjadi bagian dari gaya hidup orang.

Tapi coba tanya orang radio jaman dulu, apa kunci keberhasilan mereka? Mungkin karena belum ada televisi dan internet, mungkin karena belum banyak persaingan dalam berebut kue iklan.. tapi mungkin juga karena mereka diberi kebebasan untuk berkreasi!


ditulis oleh  La Rane Hafied [FDR 143]

sumber : suarane.org

Radio dan Sejarah Proklamasi

Tahukah anda bahwa rekaman pembacaan naskah proklamasi oleh Bung Karno, yang hingga kini bisa kita dengar di Monas dan juga banyak beredar di internet itu, tidak direkam pada tanggal 17 Agustus 1945 ? Tahukah anda bahwa kabar tentang proklamasi yang pertama kali disiarkan melalui radio ke seluruh dunia tidak keluar dari mulut Bung Karno langsung?

Ya inilah kepingan sejarah kemerdekaan Indonesia yang melibatkan satu nama yang sangat penting dalam sejarah dunia radio siaran di Indonesia. Beliau adalah almarhum Muhammad Jusuf Ronodipuro, salah seorang pendiri Radio Republik Indonesia (RRI), bahkan yang pertama mengeluarkan slogan : “Sekali di Udara Tetap di Udara!”.
Berikut beberapa informasi tentang peran beliau di masa kemerdekaan Indonesia yang saya sarikan dari berbagai sumber (lihat tautan terkait di akhir artikel ini).

KABAR TENTANG PROKLAMASI
Banyak orang -ya paling tidak saya- berpikir bahwa  suara Bung Karno membacakan proklamasi itu mengudara juga di radio pada hari yang sama saat Indonesia merdeka. Ternyata bukan begitu ceritanya.
Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar jam 17:30 WIB. Saat itu  Pak Jusuf sedang berada di kantornya, Hoso Kyoku (Radio Militer Jepang di Jakarta). Tiba-tiba muncullah Syahruddin, seorang pewarta dari kantor berita Jepang Domei dengan tergesa-gesa. (Catatan: Pak Jusuf sempat meralat kebenaran berita bahwa yang datang itu adalah sejarawan Des Alwi). Syahruddin yang masuk ke kantor Hoso Kyoku dengan melompati pagar itu menyerahkan selembar kertas dari Adam Malik yang isinya “Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud adalah Naskah Proklamasi yang telah dibacakan Bung Karno jam 10 pagi.
Masalahnya, semua studio radio Hoso Kyoku sudah di jaga ketat sejak beberapa hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah  Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika. Jusuf kemudian berunding dengan rekan-rekannya, diantaranya Bachtiar Lubis (kakak dari Sastrawan dan tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis) dan Joe Saragih, seorang teknisi radio.
Beruntung, studio siaran luar negeri tidak dijaga. Saat itu juga dengan bantuan Joe, kabel di studio siaran dalam negeri di lepas dan disambungkan ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19:00 WIB selama kurang lebh 15 menit Jusuf pun membacakan kabar tentang proklamasi di udara, sementara di studio siaran dalam negeri tetap berlangsung siaran seperti biasa untuk mengecoh perhatian tentang Jepang.
Belakangan tentara Jepang mengetahui akal bulus Jusuf dan kawan-kawannya. Mereka pun sempat disiksa. Beruntung mereka selamat. Malam itu pun radio Hoso Kyoku resmi dinyatakan bubar, tetapi dunia saat itu juga sudah mengetahui kabar tentang proklamasi langsung dari mulut Jusuf Ronodipuro. Sayang rekaman suara ini tidak diketahui lagi keberadaannya, atau jangan-jangan sudah tidak ada mengingat malam itu juga radio tersebut ditutup oleh Jepang.
~~~
CIKAL BAKAL RADIO REPUBLIK INDONESIA
Gara-gara luka-luka dipukuli tentara Jepang, Jusuf Ronodipuro berobat ke seorang dokter bernama Abdurrahman Saleh. Mengetahui apa yang baru dilakukan oleh Jusuf, Abdurrahman Saleh kemudian menyarankan agar Jusuf membuat pemancar radio sebagai sarana komunikasi pemerintahan Indonesia yang baru dengan rakyat.
Kabarnya diperlukan waktu tiga hari bagi Jusuf dan kawan-kawannya untuk merakit pemancar itu. Laboratorium milik dokter Abdurrahman Saleh di belakang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RSCM, pun kemudian dipakai sebagai ruang siaran. Maka berdirilah radio Voice of Indonesia yang siaran 2 jam sehari, satu jam dalam bahasa Indonesia, satu jam dalam Bahasa Inggris.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa untuk masuk ke studio ‘radio gelap’ tersebut harus melewati kamar mayat RSCM yang baunya busuk, sehingga setiap habis siaran bajunya pun tertular bau busuk itu dan harus direndam selama 2 hari untuk menghilangkan baunya.
Tetapi dari ruangan berbau busuk mayat itulah, Voice of Indonesia mengudara dan menjadi media utama untuk mengabarkan perjuangan Indonesia kepada rakyat dan juga ke masyarakat internasional. Bung Karno sendiri pertama kali berpidato di radio tersebut pada tanggal 25 Agustus 1945 sementara 4 hari kemudian Bung Hatta juga mengudara dari studio yang sama.
Voice of Indonesia kemudian menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia. Abdurrahman Saleh adalah direktur RRI yang pertama, dan Jusuf Ronodipuro kemudian dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan slogan “Sekali Di Udara, Tetap Di Udara!
~~~
MEREKAM PEMBACAAN NASKAH PROKLAMASI
“Proklamasi itu hanya satu kali!” begitu kata Ir. Sukarno dengan nada marah kepada Jusuf Ronodipuro pada suatu hari di awal tahun 1951. Dalam pengakuan kepada salah seorang kerabat dekatnya Louisa Tuhatu, Jusuf Ronodipuro dengan rendah hati mengatakan, kebetulan sekali saat RRI baru saja membeli peralatan baru dan mendadak pula muncul ide di benaknya untuk merekam suara Bung Karno membacakan proklamasi.
Meskipun sempat ‘ciut’ juga dimarahi oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi, tetapi Jusuf tetap bersikukuh. “Betul, Bung. Tetapi saat itu rakyat tidak mendengar suara Bung,” bujuknya. Bung Karno pun bersedia merekam suaranya tengah membacakan naskah proklamasi. Ini terjadi hampir 6 tahun setelah proklamasi yang asli dibacakan.
Nah, kebenaran cerita ini sempat menjadi kontroversi tersendiri. Bahkan -bisa ditebak- nama seorang Roy Suryo pun sempat terbawa-bawa disini. Tapi sudahlah. Itu urusan dia hehe.
Toh ada beberapa bukti yang bisa memperkuat kebenaran cerita ini. Kalau anda dengar pembacaan naskah proklamasi, maka akan terdengar kualitas rekaman yang relatif bersih, tidak ada suara-suara latar apapun. Senyap, seolah direkam di studio. Yang ada hanya suara Bung Karno. Padahal diasumsikan saat itu suasana saat proklamasi dibacakan sangatlah ramai. Nada suara Bung Karno pun tidak berapi-api seperti biasanya saat ia berpidato, bahkan ada kesan santai.
Bukti lain diceritakan oleh Louisa Tuhatu, orang terdekat Jusuf Ronodipuro di blognya (silahkan temui tautannya di akhir artikel ini). Anda mungkin tahu bahwa dalam naskah asli proklamasi yang hingga kini masih tersimpan rapi, tercetak tanggal “ hari 17 boelan 8, tahoen 05 “, sesuai penanggalan Jepang yakni tahun 2605 yang sama dengan tahun 1945. Tetapi dalam pembacaan saat rekaman, Bung Karno menyebutkan tahun 1945 dan bukannya tahun 05 atau 2605.
Silahkan bandingkan tanggal pada naskah, dengan tanggal pada rekaman pembacaan naskah proklamasi di bawah ini:
naskahproklamasi.jpg
Proklamasi [0:52m]
Demikianlah sekelumit catatan sejarah tentang sosok Jusuf Ronodipuro dan bagaimana radio berperan besar pada masa proklamasi kemerdekaan.
Muhammad Jusuf Ronodipuro meninggal pada tanggal 27 Januari 2008 dalam usia 88 tahun. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Berita wafatnya beliau tidak banyak beredar, karena pada hari yang sama banyak media lebih terfokus pada kematian Suharto.
Toh Indonesia akan selalu mengenang beliau sebagai salah seorang yang paling berperan mewartakan kemerdekaan Indonesia kepada seluruh dunia, selain juga berbagai jasa lainnya yang bisa anda baca selengkapnya dalam tautan di bawah ini.
Semoga Allah membalas semua jasamu di alam sana, Pak Jusuf!
Sekali Di Udara, Tetap di Udara!!!
*disarikan dari berbagai sumber oleh Rane Hafied (suarane.org). Jika ditemukan ada fakta sejarah yang salah, mohon disampaikan ke penulis dengan mengisi kotak komentar di bawah ini atau mengirim email ke jafmail @gmail.com. Terimakasih.

Tautan Terkait :
- Blog Louisa Tuhatu
Salah seorang kerabat dekat Jusuf Ronodipuro
-  Antara.co.id
In Memoriam Jusuf Ronodipuro
- Kompas.co.id
Jusuf Ronodipuro, Penyebar Kabar Proklamasi
- Biografitokoh.com
Jusuf Ronodipuro, Pemekik Awal Semboyan RRI

Sumber Gambar:
- Jusuf Ronodipuro muda: Wiki Bahasa Jawa (dengan beberapa penambahan)
- Naskah Proklamasi:  Wikipedia  (dengan beberapa pengeditan)

ditulis oleh  La Rane Hafied [FDR 143]
sumber : suarane.org

 Sumber Audio:
- Di reproduksi dari rekaman kaset (sumber NN)
Last Updated (Friday, 03 September 2010 03:21)